Tuesday, January 21, 2020

Arti Pernikahan, bagiku



batinku berkata, “hey pilih ini!” lalu hatiku menolak, “jangan, pilih itu saja!” seketika itu aku hanya bisa menerka-nerka yang mana diantara dua mangkuk telungkup yang berisikan mutiara itu berada. yang satu kosong, yang satu ada. dan tugasku hanya bisa terdiam sambil berpikir cepat. namun tak jarang nafsu mencambukku untuk membalik satu dari dua mangkuk itu sebelum bel dibunyikan. dalam keadaan kalut, akupun memanjatkan doa. Duhai yang menguasai aliran darahku, yang menggenggam jantungku, menggenggam rohku, Duhai Kau yang Maha Bijaksana. aku memanjatkan doa dengan sabar. mencoba mendiamkan diri sejenak untuk dapat berkomunikasi dengan Dia. “ini hidup matiku,” ucapnya sembari menangis.

Ini adalah sebuah tulisanku 7 tahun yang lalu, disaat aku tengah kebingungan luar biasa terhadap sesosok yang ku tak ingin diriku salah memilihnya. Ini adalah tulisanku ketika kala itu bingung terhadap sosok laki-laki yang mendekatiku, yang cukup serius, sehingga aku memanjatkan doa setiap saat, agar Tuhan memberiku petunjuk yang terbaik. 


Orang yang kini menjadi suamiku sekarang, adalah orang yang dulu sempat kupasrahkan segalanya pada Yang Mengatur semuanya. Berapa malam tak kuhitung berapa kali aku meminta petunjuk demi petunjuk. 

Apa yang kuketahui soal pernikahan 7 tahun lalu? Aku masih senaif memercayai pernikahan adalah sebuah ending bahagia di kehidupan sepasang manusia yang saling mencintai untuk selamanya. Aku masih senaif bocah yang bertahun-tahun terdoktrin romansa disney yang banyak menggambarkan pernikahan adalah sebuah akhir yang bahagia, happily ever after. Namun aku bersyukur tak terburu-buru memilih keputusan. Padahal tahu apa aku soal pernikahan. Ah, sebenernya tahu cukup banyak. Namun aku selalu percaya bahwa cerita romansa disney itu akan terjadi pada orang yang memercayainya. Pfft, sebodoh itu memang.

7 tahun kemudian, apa yang kini kuketahui soal pernikahan? Apakah pikiranku sudah berubah? Apakah aku menyesal sudah memutuskan untuk menikah di usia muda?

Beberapa hari yang lalu, malam hari, aku berbincang lama sekali dengan suami. Kami membicarakan banyak hal, salah satunya tentang hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan dengan pasangan, yaitu : perceraian. Ini bukan tentang kami. Namun aku bersyukur bisa berbicara banyak dengan suami soal itu.

Suamiku selalu tertegun ketika mendengar ada pasangan yang berpisah, padahal usia pernikahannya baru seumur jagung. Aku tak begitu tahu apa yang dirasakan oleh suamiku, namun yang kurasakan ketika mendengar ada pasangan suami istri yang bercerai adalah, takut.

Iya, takut. Ketakutanku itu kusampaikan pada suami. Pasangan yang bercerai, adalah pasangan yang beberapa waktu lalu saling mengucap cinta satu sama lain. Mereka saling berjanji untuk selalu setia bersama, menghadapi suka dan duka. Mereka yang kini berpisah, adalah mereka yang dulu pernah saling mencinta. Kuasa Allah Maha Membolak-balikkan hati manusia. 

Karena itu aku takut. Kuutarakan semua kecemasanku pada suami. Semakin aku mengarungi lautan pernikahan, semakin aku sedikit mengerti apa pernikahan. Pernikahan bukan melulu soal menjadi putri yang dijemput ksatria berkuda putih sambil menggigit satu tangkai mawar untuk diberikan padanya, namun pernikahan adalah bagaimana kau bisa berjalan berapa kilometer hanya untuk mendapatkan obat cacing yang ingin kau berikan pada suamimu yang sedang sakit tifus. Ataupun mengganti air mineral di dispenser hanya karena kau ingin meringankan beban suamimu yang sudah lelah bekerja, meskipun kau yakin ia tak keberatan sedikitpun untuk menggantinya. Pernikahan, yang kuketahui sejauh ini, adalah bagaimana kau dicintai pasanganmu, sebanyak kau mencintainya. Sama banyaknya. Bukan hanya ia yang mencintaimu, namun kaupun harus mencintainya dengan imbang. Saling, adalah kata kunci dalam pernikahan. Bukan hanya kau yang diperjuangkan olehnya, namun kau pun harus berjuang untuknya. Kau tak bisa selalu menjadi tuan putri yang menunggu pangeranmu datang dengan membawa segalanya yang kau inginkan, namun kau juga harus bisa berkorban untuknya, walau hanya dengan hal-hal kecil. Begitulah kini aku menggambarkan soal pernikahan, sejauh ini. 

Lantas mengapa aku takut?

Entahlah. Aku hanya berdoa pada Allah, agar cinta kami dapat selalu diberkahi dan dijaga selamanya, di dunia, di akhirat, dan di surga. Rasa takut dan cemasku kunilai wajar karena manusia tetaplah manusia, yang hanya bisa berusaha. Aku selalu teringat sebuah hadits tentang betapa bangganya iblis yang memuji setan karena berhasil memisahkan pasangan suami istri.

إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (
untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813)

Manusia tetaplah manusia. Mereka hanya bisa berusaha. Aku tak akan menghakimi mereka yang sudah bercerai, karena aku yakin mereka pun sudah berusaha dan meminta petunjuk pada Allah. Dan Aku siapa bisa menghakimi? Aku hanya mencemaskan diriku saja. Hidupku saja entah akan seperti apa kedepannya. 

Karena itu aku takut. Takut pada Allah, yang bisa membolak-balikkan hati manusia, mungkin lebih mudah daripada kita membolak-balikkan kue dadar di teflon. 

Semoga kita bisa saling melibatkan Allah, dalam setiap urusan..
suka, dan duka, semoga kita bisa selau percaya akan setiap janji Allah..

Seperti itulah kini aku memandang pernikahan. Namun entahlah. Entah itu benar atau tidak. Perlu waktu lebih lama lagi untuk aku bisa lebih mengerti soal pernikahan. Semoga dugaanku benar.


No comments:

Post a Comment