"Aku tidak pernah menyesali diamku. Tapi aku berkali-kali menyesali bicaraku."
(Umar bin Khattab)
Aku masih ingat, dulu ketika beberapa minggu setelah melahirkan, aku berjumpa dengan salah seorang tetangga rumahku di mesjid komplek. Lalu tanpa tedeng aling-aling, ia langsung melontarkan kata-kata yang hingga kini masih terasa sakit di hati.
"wah, belum kurus lagi ya habis melahirkan?"
Aku tahu ia becanda. Kurasa tak mungkin ia bertanya serius soal itu, karena --tentu saja-- itu bukan urusan dia, namun seingatku aku begitu sakit hati mendengarnya. Sekarang jika diingat-ingat kembali, sudah 5 tahun lamanya, orangnya pun mungkin sudah lupa, namun ternyata hati ini masih memendam rasa sakit mendengar ucapannya. Berapa kali kucoba untuk lupakan, namun ternyata hingga kini aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Apakah tandanya aku belum memaafkan? Atau sebenarnya kita bisa memaafkan tanpa melupakan?
Betul, jika diingat kembali, ucapannya itu remeh sekali. Mengapa aku harus berlebihan menyikapinya? Tetapi, saat itu, 5 tahun yang lalu, kondisiku sangat sangat labil. Jahitan luka operasi masih basah, aku masih berjuang dalam menyusui anakku, ditambah lagi aku masih menata pikiran dan raga agar tidak stres pasca melahirkan karena berbagai sebab, dan lain sebagainya. Karena itulah kata-kata yang dilontarkan tetanggaku itu begitu tajam menusuk jantungku.
Tidakkah cukup ia menyemangati ataupun --hanya-- menyelamatiku? selamat yaa, begitu?
5 tahun kemudian, aku masih menyimpannya dalam memori otakku. Kata-katanya, nada bicaranya, ekspresinya, masih jelas terekam. Kemungkinan kecil ia mengingat ucapannya kala itu sekarang. Tapi apa yang sudah terlontarkan, tidak dapat ditarik kembali. Andai aku bertemu dengannya sekali lagi, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena rekaman itu begitu jelas masih ada di otakku.
Bolehkah aku memaafkan, namun tetap tidak melupakan? Apakah standar keberhasilan memaafkan seseorang itu adalah dengan melupakannya? Aku tidak tahu.
Namun aku jadi menyadari sesuatu, jangan-jangan ada juga yang pernah tersakiti oleh lisanku, dan aku tidak mengetahuinya.
Bayangkan, berapa kali kita berbicara dalam sehari? Apakah yakin kata-kata kita betul baik dan bermanfaat untuk orang lain? ataukah hanya menjadi pisau tajam yang melukai hati lawan bicara? Candaan demi candaan dilontarkan karena merasa sudah dekat. Namun perasaan orang siapa yang paham? barangkali di depan ia tertawa, dalam hati ia meraung-raung sakit hati.
Aku sadar aku juga bukanlah orang suci. Bisa jadi kata-kataku banyak melukai perasaan orang-orang di sekitar. Dan aku tidak bisa menanyakan hal ini satu persatu pada orang di sekelilingku. Bisa jadi selama bertahun-tahun ada yang menuntut permintaan maaf dariku karena telah melukai perasaannya. Bisa jadi ia ketika melihatku, yang terlintas di benaknya adalah rekaman perkataanku yang menyakiti hatinya. Bisa jadi ia menuntut pembalasan...
Ah betapa mengerikannya.
Memang betul perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, 'berkata baik atau diam.'
Aku ingin sekali menarik kembali kata-kataku yang menyakiti siapapun. Aku ingin bersimpuh dan meminta maaf.
maaf,
maaf,
maaf,
siapapun yang pernah merasa tersakiti oleh lisanku, mohon beritahu. Aku akan sangat berterima kasih, dan meminta untuk dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya.
No comments:
Post a Comment